Sabtu, 28 November 2009

TAYANGAN STASIUN TELEVISI KITA

SEKITAR 15-20 tahun yang lalu (dihitung dari tahun 2000) kita mungkin tak dapat membayangkan bahwa suatu saat negeri ini akan dihiasi oleh berbagai stasiun televisi swasta. Pertelevisian nasional didominasi oleh stasiun televisi pemerintah yaitu TVRI, yang bernaung di bawah Departemen Penerangan. Program-programnya, tidaklah mengherankan, berisi hal-hal yang sesuai dengan selera pemerintah. Dalam suasana pemerintah Orde Baru yang kurang atau mungkin bahkan tidak demokratis, praktis rakyat tidak memiliki banyak pilihan menonton acara televisi yang sesuai dengan seleranya. Hanya segelintir masyarakat yang dapat menikmati tayangan alternatif (televisi asing) melalui parabola, mengingat untuk memilikinya relatif mahal.

Program-program TVRI periode Orde Baru mungkin juga dapat disaksikan pada negara-negara yang memiliki pemerintahan yang relatif otoriter: cenderung monoton. Mungkin begitulah ciri pertelevisian nasional di negara-negara yang tidak demokratis.

Sekitar tahun 1989 kita mengenal televisi swasta pertama yaitu RCTI, stasiun televisi swasta yang dikenal luas dimiliki oleh anggota Keluarga Cendana. Demikian pula sekitar tahun 1990, muncul SCTV, tahun 1991 muncul TPI dan terus bermunculan Indosiar dan ANTV. Kehadiran mereka sedikit banyak menyajikan tayangan alternatif yang sesuai dengan selera masyarakat. Namun pembatasan mengenai apa yang boleh dan yang tak boleh ditayangkan masih terasa. Program diskusi yang mengkritisi berbagai kebijakan pemerintah masih sangat kurang –untuk tidak mengatakan tidak ada.

Revolusi 1998 yang melengserkan simbol Orde Baru yaitu Soeharto (lahir tahun 1921) dari jabatannya sebagai Presiden kedua Republik Indonesia, mengubah banyak hal. Berbagai hal-hal yang sekian lama dinilai tabu dibahas pada periode kekuasaannya begitu cepat diungkap atau disebar luas, semisal berbagai praktek pelanggaran HAM dan praktek KKN. Gairah masyarakat untuk lebih berpartisipasi menentukan nasib bangsa dan negara –yang tentu terkait dengan nasib mereka sendiri– seakan mendapat “angin surga”. Para pejabat dan aparat –baik sipil dan militer– yang sekian lama cenderung dinilai sewenang-wenang sempat terpojok dan menjadi obyek sikap kritis masyarakat, terutama LSM.

Angin surga kebebasan tersebut merambah pula ke dalam dunia pertelevisian kita. Program-program yang disajikan lebih bervariasi dan “berani”. Beberapa stasiun televisi baru muncul.

Namun perkara berani atau bervariasi agaknya makin lama makin melampaui batas, kian jauh dan menyimpang dari ukuran yang patut. Penulis menilai bahwa betapapun variatifnya acara televisi, program-program yang disajikan agaknya dapat dibagi dalam beberapa kelompok semisal telenovela, film India, sinetron, musik dangdut dan tayangan misteri. Acara-acara demikian nyaris ada pada setiap stasiun. Seiring perjalanan waktu, mulai ada yang mengkritisi hal demikian.

Sebagai contoh, kita simak tayangan musik dangdut dan misteri. Jika kita mencermatinya, nyatalah bahwa penampilan para artis dangdut makin lama makin berani dalam arti pamer aurat dan gerak-geriknya cenderung erotis. Pada umumnya mereka adalah generasi muda. Penampilan tersebut sempat menimbulkan keprihatinan para seniornya. Para senior merasa telah bersusah payah mengangkat martabat musik dangdut dari musik yang dinilai pinggiran atau kampungan menuju level terhormat di pentas nasional, bahkan internasional. Penampilan seronok para artis muda tersebut dinilai dapat menjerumuskan musik dangdut hingga menjadi musik comberan.

Mengenai tayangan misteri, ini tak terlepas dari peradaban kita (Timur) yang meyakini sesuatu yang ghaib. Ini mungkin dapat difahami, bahwa perkara ghaib sangat terkait dengan agama yang memang lahir di Timur semisal Hindu, Budha, Konghucu, Nasrani dan Islam. Bahkan sebelum ada agama, manusia –terutama di Timur– meyakini bahwa di balik segala yang tertangkap panca indera juga terdapat alam yang misteri, yaitu alam yang terdapat kekuatan atau kuasa besar mengatur segala yang ada –yang lazim disebut Tuhan atau Dewa/i, ruh, setan atau hantu. Kepercayaan itulah yang agaknya dieksploitasi habis-habisan oleh (setiap) stasiun TV. Bahkan untuk pembuktian alam ghaib, beberapa orang bersedia menjadi peserta “survey” dengan istilah seperti “uji nyali” dan “uka-uka”. Si peserta ditinggal sendirian di tempat yang dinilai angker pada malam hari, umumnya berakhir jam 05.00.

Dalam konteks Indonesia yang notabene mayoritas Muslim, tak pelak bahwa tayangan tersebut merusak mental masyarakat. Masyarakat seakan dituntun untuk percaya alam ghaib melenceng dari batasan yang ditetapkan agama Islam –lazim disebut syirik– dan umbar aurat. Tayangan tersebut boleh dibilang menguntungkan stasiun bersangkutan ditinjau dari banyak iklan yang menghiasi acara tersebut, perkara dampak terhadap masyarakat itu soal lain. Serahkan saja pada diri masing-masing penonton.

Bagi yang cermat menyimak, tayangan yang dinilai merusak mental masyarakat adalah hasil dari peradaban kapitalisasi global yang berfokus mencari untung (materi) belaka tanpa peduli dampak moralnya. Jika menyebut kapitalis, hampir pasti bahwa yang teringat adalah dunia Barat. Bahkan ada yang menilai bahwa tayangan yang disajikan kepada masyarakat Indonesia bukan sekadar mencari untung, tapi terselip suatu misi tertentu yaitu penjajahan budaya atau norma atau pernah penulis baca dengan istilah penetrasi budaya. Memang penetrasi di bidang budaya merupakan bagian dari imperialisme Barat selain dominasi di bidang politik dan eksploitasi di bidang ekonomi. Walaupun cara dan wujudnya mungkin berbeda sesuai dengan perjalanan zaman namun dasarnya tetap sama.

Untuk menghadapi penjajahan model itu, bukanlah dengan cara militer yang didukung persenjataan paling canggih, karena norma adalah sesuatu yang abstrak tetapi hidup atau ada di masyarakat. Maka harus dihadapi dengan cara yang abstrak pula.

Sejauh ini agama adalah cara yang tepat untuk menangkal dampak merusak dari tayangan TV, baik diberikan di rumah/keluarga –dan ini yang paling dasar– juga diberikan di lembaga pendidikan. Dinilai sebagai cara yang tepat karena agama memiliki serangkaian hukum atau moral yang bila dilanggar akan menemui akibat yang lazim disebut dosa, semacam noda atau cacat yang harus dibereskan oleh hukuman dalam tempat yang sering digambarkan secara mengerikan yang lazim disebut neraka.

Dalam ghaib, Tuhan menjelaskan bahwa yang pertama dan utama ghaib adalah Tuhan itu sendiri. Manusia dituntut percaya ghaib dengan mendahulukan percaya kepada Tuhan, Dzat yang Maha Ghaib. Dengan kepercayaan dasar demikian manusia diarahkan percaya bahwa Tuhan mampu menciptakan makhluk ghaib.

Untuk menutup kemungkinan manusia memperlakukan perkara ghaib melenceng dari batasan yang ditetapkan-Nya, Tuhan menjelaskan bahwa makhluk ghaib juga dibebani kewajiban mengabdi kepada Tuhan dan segala perilakunya juga dimintai pertanggung jawaban, sama halnya dengan manusia. Setahu penulis, antara makhluk ghaib dan manusia diizinkan saling berhubungan dalam lingkup tauhid, bukan syirik.

Mengenai seni, agama menjelaskan bahwa Tuhan adalah Maha Pencipta. Tentu saja mampu menciptakan yang indah-indah semisal hutan hijau, langit cerah serta sungai yang bagai berlenggak-lenggok. Manusia hanya meniru ciptaan tersebut dengan menyimak alam sekitar. Manusia diizinkan mengungkapkan rasa indahnya dengan tujuan makin mencintai sumber keindahan yaitu Tuhan sendiri. Mengumbar gerakan dan pakaian seronok tentunya tidak termasuk yang mendapat izin Tuhan.

Tetapi maksud akhir agama bukanlah untuk menuntun orang menggembirakan dengan surga dan menakuti dengan neraka, tetapi menuntun manusia untuk hidup dan mati sesuai kehendak Tuhan sebagai rasa syukur terhadap nikmat yang diberikan kepada kita, termasuk nikmat hiburan. Dan hal tersebut memiliki peluang berguna menyikapi berbagai tayangan TV yang telah merambah ruang privat kita yaitu kamar tidur atau (mungkin) WC kita.

Kaum Muslim jelas mendapat tanggung jawab berat menyelamatkan Indonesia dari dekadensi moral karena mayoritas penonton adalah kaum Muslim pula. Sikap kritis terhadap tayangan TV perlu ditampilkan, bagaimanapun orang membuat stasiun TV dan menyusun acaranya tidak terlepas dari perhitungan dagang, jika bicara soal dagang orang cenderung lebih mengutamakan untung –tentu dalam arti materi– tanpa atau sedikit mempedulikan dampak moral. Sadar atau tidak sadar para pemilik modal melaksanakan agenda imperialis. Gerakan imperialis menetapkan bahwa penjajahan dapat dilaksanakan melalui media elektronik –hampir pasti menjadikan kaum Muslim sebagai target utama, di Indonesia telah tersedia para anteknya yang siap melaksanakan program tersebut.

Kegagalan imperialis Barat dalam perang salib (1095-1291) disimak dengan cermat. Kaum Muslim sulit dijajah kalau imannya belum diperlemah atau moralnya belum dirusak. Media elektronik dapat berperan ampuh menyebarkan faham yang mengagungkan nikmat lahir atau duniawi, yang lazim disebut hedonisme. Tepat peringatan Muhammad menjelang akhir hayat bahwa kaum Muslim akan takluk karena cinta dunia dan takut mati. Dua perasaan itulah yang menjadi target bidik untuk di tumbuh-kembangkan oleh imperialis Barat.
»»  Baca Selengkapnya...

FANATIK TAPI MUNAFIK

SATU di antara perilaku luhur yang konon dimiliki bangsa Indonesia adalah beragama atau religius. Seabrek contoh dicoba diajukan untuk membuat percaya dalam dan luar negeri bahwa bangsa ini shalih dengan agama yang dianutnya, antara lain rajin ke tempat ibadah semisal Masjid, Gereja atau Vihara. Kaum Muslim –dengan rasa berat hati penulis jadikan contoh mengingat mayoritas di Indonesia– seakan terkesan begitu shalih. Umat begitu antusias ke Masjid untuk shalat atau menyimak ceramah, berpuasa sunnah selain wajib di bulan Ramadhan, kadang ada yang bolak-balik ke tanah suci untuk menunaikan ibadah Haji dan Umrah. Namun apa output segala ibadat atau keshalihan ritual terhadap kehidupan sosial, atau apakah keshalihan ritual menjamin terbentuk keshalihan sosial seperti jujur, rajin, tepat waktu, sopan atau berbagai disiplin lainnya?

Kasus Indonesia jelas membuktikan bahwa keshalihan ritual belum tentu sejalan dengan keshalihan sosial. Kedua hal tersebut seakan sulit menyatu bagai sulitnya air berlarut dengan minyak. Bahkan mungkin Indonesia dapat menjadi wakil dari keadaan tersebut di dunia Muslim. Korupsi menempati nomor 6 di dunia dan pornografi menempati urutan kedua, jelas membuktikan bahwa kehidupan ritual dan sosial seakan berjalan sendiri-sendiri. Indonesia tetap atau masih dikenal sebagai negara korup, preman, mistik atau segala jenis kebobrokan hukum/moral lainnya.

Bangsa Indonesia mengalami masalah kepribadian ganda dalam soal adab. Dasar atau fitrah yang memang barbar ditambah penjajahan yang demikian lama agaknya menempatkan Indonesia sebagai bangsa yang (mungkin) paling bejad.

Kebejadan paling dasar bangsa ini dapat disimak dari mental syiriknya. Sebelum bangsa ini mengenal agama dari luar, berbagai pemujaan terhadap berbagai sosok yang dinilai besar, indah, mengagumkan atau menakutkan semisal pohon besar, batu besar, gunung, matahari atau petir telah berlangsung lama. Hal tersebut masih bertahan walau secara formal telah menganut agama tertentu.

Ziarah kubur yang dimaksudkan untuk mengingat mati dan akhirat diselewengkan menjadi ‘ritual’ untuk memohon berkah atau selamat kepada orang yang telah menjadi bangkai atau tulang belulang, karena dinilai sebagai sosok keramat atau suci. Kebejadan lain yang menyertainya adalah bahwa berkah atau selamat yang dimaksud lebih cenderung bercorak duniawi ketimbang ukhrawi semisal minta harta, jodoh, anak, disukai lawan jenis atau disayang atasan.

Coba tengok ke tempat ziarah di seantero Nusantara semisal Banten, Cirebon, Demak, Imogiri bahkan di kota-kota besar semisal Jakarta. Para pengemis –asli maupun palsu– dengan sigap memanfaatkan kepercayaan tersebut untuk minta-minta sedekah kepada peziarah, ditambah tukang copet yang tanpa segan-segan beraksi di tempat yang dinilai keramat tersebut.

Faham pra Islam lain yang masih bertahan adalah ritual seperti selamatan sekian hari untuk yang mati: 40 hari, 100 hari, 1000 hari. Pada mulanya para ulama pada awal masa da’wah Islam di Jawa membiarkan tersebut untuk sementara. Pertimbangannya, masyarakat Jawa yang baru mengenal Islam tidak kaget karena terbiasa dengan ritual tersebut sebagai dampak pengaruh Hindu-Budha sekitar 1500 tahun lamanya.

Sebagai awal perubahan, pelan-pelan mereka mengubah mantra dengan do’a. Permainan wayang –yang akrab dengan masyarakat Jawa– diselipkan dengan pesan-pesan Islami. Namun kebiasaan tersebut menjadi berkepanjangan karena da’wah terhambat oleh konflik dengan imperialis Barat. Kekuatan asing tersebut bahkan bergabung dengan kekuatan yang masih berfaham pra Islam untuk menghambat da’wah Islam yang murni sesuai dengan kitab dan sunnah.

Konflik berkepanjangan dengan konspirasi anti Islam tersebut berakibat banyak aset umat semisal masjid dan pesantren rusak, para ulama banyak yang tewas, hilang atau ditangkap. Dampaknya, rakyat yang waktu itu masih mengenal Islam sebatas kulit, menjadi kehilangan tuntunan. Rakyat kembali melaksanakan ritual pra Islam dicampur dengan Islam, hal yang berlangsung hingga kini.

Potensi umat terkuras oleh perang sehingga da’wah menjadi terbelakang. Terpeliharalah “penyakit” umat yang terangkum dalam singkatan TBC (Tahyul, Bid’ah, Churafat) hingga kini. Kaum Muslim cenderung menerima apa saja yang dikatakan ulama atau kiyahi tanpa mencoba mengolah dengan logika (taqlid), umumnya banyak terdapat di pesantren. Berbagai ritual yang tak jelas sumbernya atau sulit dipertanggung jawabkan secara ‘aqliyyah maupun naqliyyah bermunculan di tengah umat (bid’ah), jika ada yang menyangkal langsung ditanggapi dengan emosional, bukan rasional.

Faham yang bukan-bukan semisal sekian hari setelah kematian arwah si mati akan mengunjungi rumah keluarganya juga masih belum lenyap. Padahal dalam ‘aqidah Islam jika seseorang telah mati maka arwahnya berada di alam barzakh, bukan gentayangan di dunia.

Praktek mistik semisal santet, adalah bentuk praktek pra Islam yang masih lestari bahkan di daerah-daerah yang dikenal dengan kental nuansa Islami semisal Banten dan Jawa Timur. Hal tersebut diperparah karena praktek tersebut tidak segan-segan menyelewengkan ayat-ayat al-Qur-an atau do’a-do’a Islam lainnya, semisal untuk memikat lawan jenis, mencelakakan orang yang dibenci atau disayang atasan. Ada yang mempelajari dan mengamalkannya sendiri, ada pula yang minta bantuan kepada orang-orang yang ahli tentang itu, lazim disebut dukun.

Memang, pada hakekatnya kejahatan adalah kebaikan yang diselewengkan. Tuhan telah menciptakan alam semesta –termasuk dunia– dalam keadaan baik, tetapi dirusak, diselewengkan oleh manusia sehingga dunia betul-betul menjadi rusak. Namun ironisnya, dunia yang kelak disalahkan sebagai penyebab “kerusakan” manusia, padahal dunia adalah ciptaan Tuhan jua sebagai bentuk kasih-Nya kepada insan.

Penyelewengan sesuatu kebaikan berlaku juga untuk al-Qur’an, banyak ayat-ayat yang dipakai untuk yang bertentangan dengan hakekat ayat itu sendiri. Contoh yang sederhana mungkin begini, jika al-Qur’an dibaca dari kanan ke kiri insya Allah akan menjadi rahmat atau berkah, namun jika dibaca dari kiri ke kanan atau dibolak-balik begitu rupa bukan mustahil menjadi santet atau sihir.

Penulis pernah menemukan kitab-kitab yang menggunakan huruf atau bacaan berbahasa Arab untuk tujuan sihir atau apalah istilahnya, lazim dikenal dengan sebutan mujarabat. Isinya antara lain tolak bala terima laba. Inilah tantangan berat atau kerja besar bagi para intelek Muslim –atau apapun istilahnya– untuk melanjutkan da’wah yang tertunda akibat penjajahan yang lama, kembali pada pemurnian dan juga pembaharuan pemahaman agama.

Namun, da’wah yang mungkin begitu giat dilaksanakan agaknya mendapat hambatan –sadar maupun tidak– justru dari para intelek itu sendiri, ‘kegagalan’ para ahli agama adalah menyampaikan pesan-pesan agama yang membumi atau terkait langsung dengan corak hidup sehari-hari, sehingga secara sadar tidak sadar turut melestarikan kesenjangan antara hidup ritual dengan sosial. Mereka cenderung membahas perkara yang kurang memiliki kejelasan kaitan antara agama dengan dunia semisal cerita-cerita seputar suasana surga dan neraka, atau mereka menyampaikan pesan-pesan agama yang masih bersifat umum, cenderung kurang memberi contoh konkrit dalam hidup sehari-hari.

Memang, surga dan neraka atau tegasnya akhirat itu ada, namun bagaimana cara menyikapi akhirat selama hidup di dunia? Jika hal tersebut dibahas, penulis ulangi, masih bersifat umum semisal ajakan “mari beriman atau bertakwa kepada tuhan”. Tetapi apakah contoh konkrit iman atau takwa dalam hidup sehari-hari? Akibat kegagalan tersebut, tidak heran jika kita mungkin pernah menyaksikan atau bahkan diri sendiri merasakan hasil “masuk masjid tobat keluar masjid kumat”, yaitu kumat selingkuhnya atau maksiatnya semisal bohong atau korupsi.

Cenderung terabaikan bahwa kesempatan beragama justru ketika masih hidup di dunia, bukan di akhirat. Di akhirat, kita mendapat balasan berdasar perilaku hidup di dunia. Dengan demikian, faham sekuler tidak mendapat tempat dalam Islam. Islam tidak mengenal pemisahan antara agama dengan dunia semisal politik dan ekonomi. Namun justru kita tanpa sadar atau kadang sadar membuat pemisahan antara kedua hal tersebut. Kita rajin shalat misalnya, namun juga rajin korupsi.

Kebejadan berikut adalah kecenderungan bangsa ini menggunakan agama sebagai kedok, atau membawa-bawa ayat dan hadits jika berbicara padahal perilakunya diketahui menyimpang dari perkataannya. Mengenai ini penulis sering bertemu dengan orang-orang demikian. Contohnya dalam hal perkawinan, penulis sering dipertanyakan status lajangnya: mengapa belum juga menikah. Ketika penulis memberi beberapa alasan intelek, mereka dengan sigap berdalih, “Menikah itu sunnah rasul, lho…”

Penulis yakin bahwa bangsa ini pasti tetap berkeinginan dan melaksanakan pernikahan, walaupun tidak ada sunnah rasul. Coba kita tinjau sejarah, bangsa ini mengenal ‘budaya kawin’ jauh sebelum mereka mengenal sunnah rasul, atau tegasnya jauh sebelum kenal agama. Islam masuk ke Indonesia sekitar abad ke-7 sesudah Masehi, padahal penduduk Nusantara sudah ada sejak sekitar 3000-2000 sebelum Masehi. Ketika mereka mengenal agama (Islam), mereka agaknya mendapat peluang menjadikan agama sebagai kosmetik untuk urusan syahwat tersebut supaya terkesan elegan. Padahal, bangsa ini pada dasarnya adalah bangsa terbelakang, fikirannya tak jauh dari selangkangan. Karena itu sulit mendapat pencerahan yang akan menuntun kepada kemajuan atau capaian kemanusiaan.

Tambahan pula, jika ingin bersunnah rasul kenapa cuma menikah yang disebut-sebut? Padahal, yang namanya sunnah rasul tidak hanya menikah. Kedisiplinan, rajin, teliti, jujur mencari rezeki atau seluruh perbuatan yang tergolong amar ma’ruf nahyi munkar, adalah sunnah rasul. Bukankah rasul banyak memberi contoh perilaku demikian?

Inilah suatu bukti bahwa betapa dangkal kaum Muslim Indonesia memahami agama Islam. Pada hakikatnya bangsa ini tidak beragama, mereka sibuk mencari dunia: yang kaya menambah kekayaannya dan mengamankan asetnya, sedangkan si miskin jungkir balik demi sesuap nasi, sehingga tidak sempat membaca buku agama. Namun konyolnya, jika ada kasus yang sedikit terkait dengan agama, mereka beramai-ramai berebut omong agama, semua ingin didengar pendapatnya. Mendadak semua menjadi “pakar” agama.

Langkah untuk memperbaiki umat di Indonesia adalah terus menerus memberi pemahaman agama sesuai sumber aslinya. Jangan buru-buru menyatakan secara resmi negara ini menjadi negara Islam, apa gunanya syari’at Islam secara formal tercantum dalam konstitusi atau hukum tertulis lainnya jika umatnya belum faham atau siap? Islam mengutamakan isi, bukan kulit. Jika rakyat dengan sadar atau faham agama, tanpa mencantumkan syari’at pun dalam berbagai produk hukum, otomatis Indonesia akan menjadi Islami.

Pembentukan berbagai partai berasaskan Islam atau beramai-ramai ulama masuk partai politik atau menjadi anggota dewan perwakilan rakyat, belum dapat menjadi ukuran bahwa Indonesia menjadi Islami. Begitu banyak parpol Islam justru menunjukan bahwa kaum Muslim terpecah-belah, padahal agama menyuruh umat bersatu. Ulama masuk parpol atau berpolitik praktis berakibat ulama punya musuh politik, padahal ulama justru harus berada di atas semua golongan. Ulama menjadi anggota dewan perwakilan rakyat justru membuat asyik mengurus jabatan atau mempertahankan jabatan, bukan mengurus atau membela umat.

Bahkan ada kecenderungan ulama menjadi selebritis selain para artis, politisi atau atlit, ini mengandung resiko bahwa mereka akan berjarak dengan umat, yang mayoritas justru menengah ke bawah. Padahal ulama harus “merangkul” semua golongan. Serahkan politik, hukum atau ekonomi kepada ahlinya, namun ulama mesti menjadikan yang bersangkutan sadar atau faham untuk berperilaku agamis, semisal menjaga batas halal dan haram dalam bidang yang dijalaninya, bukan mesti menjadikannya hafal ayat dan hadits. Ini sedikit contoh saja.

Masih ada lagi kebejadan yang tak disadari padahal telah menempatkan Indonesia dalam peringkat 2 di dunia, yaitu pornografi, mencakup pula prostitusi. Praktek korupsi –yang lebih banyak bikin heboh– ternyata menempatkan Indonesia “hanya” pada peringkat 6 dunia.

Di beberapa negeri yang kita nilai bejad, ternyata berlaku pembatasan terhadap pornografi. Di Indonesia, bacaan dan tontonan porno begitu mudah dijangkau oleh yang mereka yang berusia “di bawah umur” semisal terang-terangan digelar di tepi jalan atau minimal disamarkan dengan bacaan atau tontonan “halal” yang didapat dengan bisik-bisik. Belum lagi termasuk situs internet mudah ditemukan asal tahu alamatnya, cukup diawali dengan membuka search engine Google. Dengan demikian pornografi merambah ke dalam rumah, dapat diintip tanpa perlu keluar rumah.

Keajaiban Indonesia dalam urusan syahwat tersebut adalah, betapa ada daerah-daerah yang dikenal begitu agamis ternyata banyak menghasilkan pelacur dengan berbagai istilah. Mengenai ini kalau boleh penulis sebut antara lain adalah Cirebon. Daerah ini dikenal dengan kebiasaan nikah muda –umumnya ketika panen– mengingat daerah tersebut terdapat lahan pertanian yang begitu luas, atau para orangtua menjodohkan anak pada usia muda untuk lekas bebas dari tanggung jawab. Pasangan muda tersebut cenderung boros, uang hasil panen tersebut dipakai untuk membeli perabotan dan perhiasan. Ketika masa paceklik, mulailah barang-barang tersebut dijual untuk memenuhi kebutuhan hingga habis. Kurang nafkah berakibat muncul cekcok suami-istri hingga cerai, jadilah perempuan tersebut menjadi ”janda kembang” atau “janda muda”.

Ada juga yang bercerai karena perkawinannya tidak didasarkan cinta, melainkan karena menuruti kehendak orangtua. Untuk bertahan hidup mereka memilih prostitusi di dalam maupun di luar daerahnya, bahkan dengan dukungan orangtua. Tidak jarang ada orangtua yang menjual putrinya kepada sindikat prostitusi. Konon hal tersebut telah berlangsung turun temurun, faktornya karena kemiskinan atau memiliki budaya materialistis atau konsumtif, yaitu ingin hidup enak dengan jalan pintas.

Jalur Pantura (pantai utara) merupakan daerah Latinnya Indonesia: berdarah panas, emosional, fanatik namun munafik. Getol beribadat (ritual) namun getol pula bermaksiat! Ini pekerjaam serius bagi para intelek yang mendambakan suasana agamis di negeri ini.

Cara yang dapat ditempuh untuk maksud tersebut di atas adalah bahwa selain da’wah dengan mulut (da’wah bil lisan), juga da’wah dengan praktek (da’wah bil haal). Jangan umat hanya diceramahi agama, padahal perutnya lapar atau bajunya kurang bahan. Tetapi, perbaiki juga kehidupan sehari-hari mereka. Islam tidak mengenal pemisahan urusan dunia dengan akhirat, ritual dengan sosial atau pemisahan antara material dengan spiritual. Semua terkait erat karena dunia atau materiel juga anugerah Tuhan, maka didapat dan dipakai juga sesuai dengan kehendak Tuhan.

Dengan demikian memberantas kemiskinan dan kebodohan harus disadari sebagai bagian dari ibadah, bukan cuma shalat, puasa, doa-doa atau ngaji-ngaji! Jelaslah bahwa bersekolah, berdagang, berpolitik juga dapat bernilai ibadah. Jelaslah bahwa hal ini bukan cuma tugas ulama, kiyai, ajengan tetapi juga presiden, menteri, gubernur, jenderal dan sebagainya. Da’wah dengan perbuatan lazim dikenal dengan istilah “da’wah bil haal”. Sungguh tepat sabda rasul, “kefakiran dapat menyebabkan kekafiran”. Miskin dapat menggoda orang menjadi penipu, pencuri, perampok, pembunuh atau pindah agama!
»»  Baca Selengkapnya...

Rabu, 25 November 2009

Kenapa Shalat Harus Menghadap Ka'bah?

Mungkin selama ini kita selalu bertanya setiap kali kita melakukan ibadah sekaligus rukun Islam nomor dua yaitu shalat kita selalu menghadap kiblat, atau dalam hal ini Ka'bah. Nah mengapakah sebenarnya harus menghadap Ka'bah?

Hal ini sebenarnya merupakan sejarah yang paling tua di dunia. Bahkan jauh sebelum manusia diciptakan di bumi, Allah swt telah mengutus para malaikat turun ke bumi dan membangun rumah pertama tempat ibadah manusia. Ini sudah dituturukan dalam Al-Quran: Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekkah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia . (QS. Ali Imran : 96).

Konon di zaman Nabi Nuh as, ka’bah ini pernah tenggelam dan runtuh bangunannya hingga datang masa Nabi Ibrahim as bersama anak dan istrinya ke lembah gersang tanpa air yang ternyata disitulah pondasi Ka’bah dan bangunannya pernah berdiri. Lalu Allah swt memerintahkan keduanya untuk mendirikan kembali ka’bah di atas bekas pondasinya dahulu. Dan dijadikan Ka’bah itu sebagai tempat ibadah bapak tiga agama dunia.

Dan ketika Kami menjadikan rumah itu (ka’bah) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. Dan jadikanlah sebahagian maqam Ibrahim tempat shalat. Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: "Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i'tikaf, yang ruku' dan yang sujud". (QS. ). Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh, (QS. Al-Hajj : 27).

Di masa Nabi Muhammad, awalnya perintah shalat itu ke baitul Maqdis di Palestina. Namun Rasulullah saw berusaha untuk tetap shalat menghadap ke Ka’bah. Caranya adalah dengan mengambil posisi di sebelah selatan Ka’bah. Dengan mengahadap ke utara, maka selain menghadap Baitul Maqdis di Palestina, beliau juga tetap menghadap Ka’bah.

Namun ketika beliau dan para shahabat hijrah ke Madinah, maka menghadap ke dua tempat yang berlawanan arah menjadi mustahil. Dan Rasulullah saw sering menengadahkan wajahnya ke langit berharap turunnya wahyu untuk menghadapkan shalat ke Ka’bah. Hingga turunlah ayat berikut :

Sungguh Kami melihat mukamu menengadah ke langit , maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang yang diberi Al Kitab memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan. (QS. Al-Baqarah : 144).

Jadi di dalam urusan menghadap Ka’bah, umat Islam punya latar belakang sejarah yang panjang. Ka’bah merupakan bangunan yang pertama kali didirikan di atas bumi untuk dijadikan tempat ibadah manusia pertama. Dan Allah swt telah menetapkan bahwa shalatnya seorang muslim harus menghadap ke Ka’bah sebagai bagian dari aturan baku dalam shalat.
»»  Baca Selengkapnya...

Senin, 23 November 2009

HUKUM MEMPERINGATI MAULID NABI SAW.

Maulid Nabi saw. adalah kelahiran nabi Muhammad, Rasulullah saw.. Beliau saw. dilahirkan di tengah keluarga bani Hasyim di Makkah. Mengenai tanggal kelahirannya, para ahli tarikh berbeda pendapat dalam masalah ini, dan tidak ada dari mereka yang mengetahui secara pasti, namun menurut buku “Sirah Nabawiyah”, karya Shafiyurrahman Mubarakfury -Juara I lomba penulisan sejarah Nabi yang diadakan oleh Rabithah Al-Alam Al-Islamy- Nabi Muhammad saw. dilahirkan pada hari senin pagi, tanggal 9 Rabi’ul Awal, permulaan tahun dari peristiwa gajah.

Bertepatan dengan itu, terjadi beberapa bukti pendukung kerasulan di antaranya adalah, runtuhnya sepuluh balkon istana Kisra, padamnya api yang biasa disembah oleh orang-orang Majusi, dan runtuhnya beberapa gereja di sekitar Buhairah. Hal ini diriwayatkan oleh Baihaqi. Selain itu, Ibnu Sa’d meriwayatkan bahwa Ibu Rasulullah saw. berkata, “Setelah bayiku keluar, aku melihat ada cahaya yang keluar dari kemaluanku, menyinari istana-istana di syam.”

Setelah Aminah melahirkan, dia mengirim utusan kepada kakeknya, Abdul Muththalib, untuk menyampaikan berita gembira tentang kelahiran cucunya. Maka Abdul Muththalib datang dengan perasaan suka cita, lalu membawa beliau ke dalam ka’bah, seraya berdo’a kepada Allah dan bersyukur kepada-Nya. Dia memilihkan nama Muhammad untuk beliau, sebuah nama yang belum pernah dikenal di kalangan Arab. Kemudian beliau dikhitan pada hari ke tujuh, seperti yang biasa dilakukan oleh orang-orang Arab.

Itulah sekelumit sejarah tentang kelahiran Nabi saw., yang kemudian momen penting tersebut diperingati oleh kebanyakan kaum muslimin sejak berlalunya tiga generasi, yaitu generasi sahabat, tabi’in, dan tabi’ tabi’in.

Rasulullah saw. bersabda (yang artinya), “Janganlah kamu berlebih-lebihan memujiku, sebagaimana orang-orang Nasrani telah berlebih-lebihan memuji (Isa) putera Maryam. Aku hanyalah seorang hamba, maka katakanlah, ‘Abdullah wa rasuluhu (hamba Allah dan Rasul-Nya)’.” (HR Bukhari dan Muslim).

Dalam hadis yang lain Rasulullah saw. bersabda, “Jauhilah oleh kamu sekalian sikap berlebihan, karena sesungguhnya sikap berlebihan itulah yang telah menghancurkan umat-umat sebelum kamu.”

Dan dari Ibnu Mas’ud r.a., bahwasanya Rasulullah saw. bersabda, “Binasalah orang yang berlebih-lebihan dalam tindakannya.” (HR Muslim).

Hadis di atas menerangkan larangan Rasulullah saw. kepada umatnya untuk memujinya secara berlebih-lebihan. “Janganlah kamu sekalian memujiku dengan berlebih-lebihan.” Artinya adalah janganlah kamu sekalian memujiku dengan cara yang bathil, dan janganlah kalian melampaui batas dalam memujiku. Makna kata ithra’ dalam hadis tersebut (laa tuthruni), adalah melampaui batas dalam memuji.

Kenyataannya, kebanyakan manusia sangat berlebih-lebihan dalam memuji dan mengagungkan orang yang menjadi panutan dan junjungannya, sehingga mereka meyakini bahwa junjungan mereka itu mampu melakukan sesuatu yang seharusnya hanya hak Allah. Jadi mereka menganggap junjungan mereka itu memiliki sifat ilahiyah dan rububiyah yang sebenarnya hanya milik Allah. Hal itu karena perilaku mereka yang berlebih-lebihan dalam memuji dan menyanjung panutan mereka.

Walaupun Rasulullah saw. sudah melarangnya, tapi kenyataan ini masih terjadi di kalangan sebagian orang yang mengaku sebagai umatnya. Kita dapati di sebagian syair yang di anggap sebagai salah satu shalawat, yang berbunyi, “Allahumma shalli shalatan kamilatan wa sallim salaman tamman ‘ala sayidina Muhammadin alladzi tanhalu bihil ‘uqadu, watanfariju bihil kurabu, wa tuqdha bihil hawaiju....” yang artinya, “Ya Allah, limpahkanlah shalawat dan salam yang sempurna kepada junjungan kami Nabi Muhammad saw., yang karenaya ikatan belenggu terurai, dan karenanya malapetaka sirna, dan karenanya kebutuhan-kebutuhan terpenuhi….” Bukankah itu adalah pujian yang berlebihan, karena menyanjung Rasulullah saw. dengan hal-hal yang sebenarnya hanya kekuasaan Allah saja.

Itu adalah satu contoh tentang keadaan sebagian umat yang melampaui batas dalam memuji Nabinya.

Setelah itu, ada masalah yang tersisa, yaitu bagaimana dengan acara-acara perayaan dan beberapa perilaku yang dilakukan oleh kebanyakan orang untuk memperingati kelahiran Nabi saw.. Apakah hal tersebut termasuk perilaku yang berlebih-lebihan dan melampaui batas? Atau merupakan sesuatu hal yang baru yang diada-adakan oleh umat ini?

Tentang hal itu, marilah kita ikuti komentar Syekh Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin ketika beliau ditanya mengenai hukum merayakan maulid Nabi saw..

Beliau berkata, “Pertama, malam kelahiran Nabi saw. tidak diketahui secara pasti, tetapi sebagian ahli sejarah menyatakan bahwa hal itu terjadi pada malam kesembilan Rabi’ul awal, bukan pada malam kedua belas. Tetapi justru saat ini perayaan maulid dilaksanakan pada malam kedua belas, yang tidak ada dasarnya dalam tinjauan sejarah.

Kedua, dipandang dari sisi akidah, juga tidak ada dasarnya. Kalaulah itu syariat dari Allah, tentulah dilaksanakan oleh Nabi saw. atau disampaikan pada umat beliau. Dan kalaulah Rasulullah saw. mengerjakannya atau menyampaikan kepada umatnya, mestinya amalan itu terjaga, karena Allah berfirman, “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Alquran, dan sesunggunya Kami benar-benar akan menjaganya.” (Al-Hijr: 9).

Ketika ternyata hal itu tidak didapati, maka bisa diketahui bahwa hal itu bukanlah termasuk ajaran Islam. Dan jika bukan dari ajaran agama Allah, maka kita tidak boleh menjadikannya sebagai bentuk ibadah kepada Allah dan tidak boleh menjadikannya sebagai amalan taqarrub kepada-Nya.

Allah telah menetapkan suatu jalan yang sudah ditentukan untuk bisa sampai kepada-Nya –itulah yang datang kepada Rasulullah saw.- maka bagaimana mungkin kita diperbolehkan membuat jalan sendiri, yang akan menghantarkan kepada-Nya, padahal kita adalah seorang hamba. Ini berarti mengambil hak Allah, yaitu membuat syariat yang bukan dari-Nya, dan kita masukkan ke dalam ajaran Allah. Ini juga merupakan pendustaan terhadap firman Allah, “Pada hari ini telah kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah kecukupkan nikmat-Ku kepadamu….” (Al-Maidah: 3).

Maka kami katakan, bila perayaan ini termasuk bagian dari kesempurnaan dien, tentunya sudah ada sebelum Rasulullah saw. wafat. Bila tidak ada, berarti hal itu tidak mungkin menjadi bagian dari kesempurnaan dien, karena Allah berfirman, “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah kecukupkan nikmat-Ku kepadamu, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agamamu.” (Al-Maidah: 3).

Barang siapa yang menyatakan bahwa perayaan maulid adalah termasuk ajaran agama, maka ia telah membuat hal yang baru sepeninggal Rasulullah saw.. ucapannya mengandung kedustaan terhadap ayat yang mulia tersebut.

Tidak diragukan lagi bahwa orang yang merayakan maulid Nabi, ingin mengagungkan beliau, ingin menampakkan kecintaan dan besarnya harapan untuk mendapatkan kasih sayang beliau dari perayaan yang diadakan, dan dan ingin menghidupkan semangat kecintaan kepada Nabi saw.. Sebenarnya semua ini adalah termasuk ibadah. Mencintai Rasul adalah ibadah, bahkan iman seseorang tidak sempurnya sehingga ia lebih mencintai Rasul dari pada dirinya, anaknya, orang tuanya, dan semua manusia. Mengagungkan Rasulullah saw. juga termasuk ibadah. Haus akan kasih sayang Rasulullah saw. juga merupakan bagian dari dien. Oleh karena itu, seseorang menjadi cenderung kepada syariat beliau. Jika demikian, tujuan merayakan maulid nabi adalah untuk bertaqarrub kepada Allah, dan pengagungan terhadap Rasul-Nya. Ini adalah ibadah. Bila ini ibadah, maka tidak boleh membuat hal yang baru –yang bukan dari Allah- dan dimasukkan ke dalam agama-Nya selama-lamanya. Maka dari itu, jelaslah bahwa perayaan maulid Nabi saw. adalah sesuatu yang diada-adakan (bidah) dan haram hukumnya.

Selain itu, kita juga mendengar bahwa dalam perayaan ini terdapat kemungkaran-kemungkaran besar yang tidak diterima oleh syar’i, perasaan, ataupun akal. Mereka melantunkan nyanyian-nyanyian untuk maksud-maksud tertentu yang sangat berlebihan tentang Rasulullah saw.. Sehingga mereka menjadikan Rasulullah saw. lebih agung dari pada Allah. –kita berlindung kepada Allah dari hal tersebut-. Kita juga mendengar bahwa sebagian orang, karena kebodohan mereka, merayakan maulid Nabi, apabila salah seorang membacakan kisah tentang kelahiran Nabi saw. dan jika sudah sampai pada lafadz “Nabi dilahirkan”, mereka berdiri dengan serempak. Mereka berkata, “Rasulullah saw. telah datang, maka kami pun berdiri untuk mengagungkannya.” Ini adalah kebodohan. Dan ini bukanlah adab, karena beliau membenci bila disambut dengan berdiri. Para sahabat adalah orang yang paling mencintai dan mengagungkan beliau, tetapi mereka tidak berdiri bila menyambut beliau, karena mereka tahu bahwa beliau membenci hal itu. Saat beliau masih hidup saja tidak boleh apalagi setelah beliau tidak ada.

Dalam bidah ini –bidah maulid Nabi yang terjadi setelah berlalunya tiga generasi mulia, yaitu para sahabat, tabi’in, dan tabi’ tabi’in- terdapat pula kemungkaran yang dilakukan oleh orang-orang yang merayakannya, yang bukan dari pokok ajaran dien. Terlebih lagi terjadinya ikhtilath (campur baur) antara laki-laki dan perempuan. Dan masih banyak kemungkaran-kemungkaran yang lain. (Majmu’ Fatawa, Syeikh Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin).

Kiranya apa yang dikatakan oleh Syaikh Utsaimin di atas cukup menjelaskan kepada kita tentang hukum merayakan maulid Nabi saw..

Meskipun mengetahui sejarah dan mengenal Nabi saw. adalah wajib bagi kita, bangga –karena beliau adalah rahmat bagi seluruh alam- dan selalu mengenang beliau adalah tugas kita, namun tidak berarti kemudian kita diperbolehkan untuk memuji dan menyanjungnya secara berlebih-lebihan, dan tidak berarti kita boleh mengenangnya dengan melakukan perilaku dan amalan yang justru hal itu tidak pernah dilakukannya dan tidak dianjurkan olehnya.

Seperti yang dilakukan oleh orang-orang sekarang, mereka merayakan maulid Nabi, yang mereka sebut dengan peringatan maulid Nabi, dengan melakukan berbagai amalan dan perbuatan yang justru hal itu bernilai berlebih-lebihan dalam memuji Nabi, atau bahkan merupakan hal baru yang mereka ada-adakan. Lebih dari itu, sebagian perilaku mereka itu ada yang termasuk dalam kategori kesyirikan, yaitu apabila mereka memuji Rasulullah saw. dengan sanjungan-sanjungan dan pujian-pujian yang berisi bahwa Rasulullah saw. mampu melakukan hal-hal yang seharusnya hanya hak dan kekuasaan Allah.

Walaupun tujuan merayakannya adalah ibadah, namun karena tidak ada tuntunannya, maka perbuatan itu sia-sia belaka, dan justru berubah menjadi dosa dan pelanggaran. Karena ibadah itu harus dibangun dengan dalil yang menunjukkannya.

Mengapa memperingati dan mengenang Nabi saw. harus dilakukan sekali dalam setahun, padahal sebagai muslim harus selalu mengenang Nabi dan meneladaninya dalam segala aspek kehidupannya. Bahkan minimal seorang muslim harus menyebut nama Nabi Muhammad saw. lima kali dalam sehari semalam, yaitu pada syahadat dalam salat wajib.

Mengagungkan dan mencintai Nabi adalah sesuatu yang terpuji dan dianjurkan dalam Islam, tapi dalam pelaksanaannya, harus sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah saw.. Rasulullah saw. melarang umatnya melakukan sesuatu (ibadah) yang tidak pernah dicontohkan olehnya dalam segala hal.

Bagaiamana mungkin, orang yang mengaku mencintai dan menyanjung Rasulullah saw. , akan tetapi justru melakukan sesuatu yang sangat dibenci olehnya. (Zen bin Choodry).
»»  Baca Selengkapnya...

Kamis, 19 November 2009

Yahudi Menggenggam Dunia

Masih sangat langka buku yang membicarakan tingkah dan ulah kaum Yahudi dalam sejarah perjalanan ummat manusia secara detail. Sifat ketertutupan Yahudi merupakan trademark yang unik sejak dulu. Oleh karena itu, mengangkat masalah Keyahudian sebagai tema pembicaraan merupakan kesulitan yang tidak mudah diterobos. Namun demikian, sejak satu setengah abad yang silam ada beberapa buku tentang aktivitas Yahudi yang beredar, seperti buku Konglomerat Rothschild, karya Demachy.

Sayangnya, buku yang langka seperti itu tidak banyak menyoroti orang, khususnya tentang kehidupan keluarga Rothschild dari sisi politik. Padahal, mereka ini sebenarnya pihak yang bertanggung jawab (setidaknya 50%) atas pertumpahan darah yang menimpa bangsa Eropa sejak tahun 1770. Ada pula buku yang paling istimewa yang ditulis orang tentang Keyahudian itu berjudul Yahudi Internasional. Buku ini memaparkan kekuasaan Yahudi atas Amerika Serikat dengan bahasa dan kemasan yang mudah difahami oleh pembacanya.

Buku ini tidak mendedahkan keluarga Rothschild dan peran gila mereka di Amerika, karena konglomerat Rothschild lebih banyak muncul di Eropa daripada di Amerika, khususnya pada saat buku itu ditulis. Adapun sekarang, masalahnya tentu sudah jauh berbeda. Sayangnya, buku ini dalam keempat bagiannya tidak menyinggung peran gila yang dimainkan oleh pihak Yahudi selama 150 tahun yang lalu.

Kiranya ada perlunya kita menyinggung isi buku berjudul Revolusi Perancis, Revolusi Internasional - Persekongkolan terhadap Peradaban, dan sebuah buku lagi berjudul Perkumpulan Rahasia, semua tulisan Ny. Nesta Webster, seorang ahli sejarah kontemporer terkemuka dari London . Sejarawan, politisi atau juru dakwah dan kaum muslimin pada umumnya perlu membaca karya seperti itu. Buku yang lain, yaitu buku Faktor Keprihatinan Dunia yang diterbitkan oleh The Morning Post, London juga penting untuk bahan bacaan, meskipun buku itu tidak menyinggung persoalan keluarga Rothschild. Buku lain lagi adalah buku Rahasia Keluarga Rothschild, karya Mary Hobart, meskipun kurang berbobot, tapi beberapa saat setelah penerbitannya, segera lenyap dari peredaran, diperkirakan akibat keberatan keluarga Rothschild sendiri.

Dalam bidang media massa , keluarga Rothschild telah sepenuhnya menguasai dan membentuk publik opini, dan sekaligus menyembunyikan hakikat obyektif dari mata masyarakat umum. Sedang para tokoh agama, politisi dan para penulis kebanyakan dihantui oleh rasa tidak aman untuk membeberkan rahasia kekuatan di balik tabir Yahudi. Lothrop Studdard berkata, "Suatu peristiwa telah terjadi, dan peradaban Kristen yang telah berusia lebih dari 19.000 tahun berada dalam bahaya." Lothrop tidak berani menjelaskan suatu peristiwa yang terjadi itu, meskipun sebenarnya dia tahu persis apa yang telah terjadi.

Selain itu semua, 99% rakyat Amerika tidak mengetahui hakikat kebijakan politik luar negerinya. Bahkan para tokoh politisinya tidak mengetahui rahasia negerinya, akibat permainan kekuatan politik di balik tirai. Apa akibat dari permainan kekuatan politik di balik tirai itu? Dr. Klein Michel ketika masih menjabat sebagai Rektor Universitas Kalifornia Selatan berkata, "Di sana terdapat 96% rakyat Amerika berada di bawah garis standar kecendekiaan. Hanya 4% yang berada di atas garis sadar kecendekiaan.

Menteri Pertahanan Weeks juga mengakui terus terang, bahwa tingkat kemerosotan suara vokal yang ada di Kongres sekarang belum pernah terjadi pada masa lampau. Demikian pula Senator Poura merumuskan kesimpulan yang sama, bahwa para politisi telah menemui kegagalan sangat parah dalam melaksanakan tugas.

Untuk mengetahui lebih jelas setiap kejahatan yang didalangi oleh Yahudi, kita perlu mengikuti pernyataan dari beberapa politisi terkemuka. D'Esraeli dalam bukunya Coningsby (halaman 25), yang ditulis pada tahun 1884 mengatakan, "Dunia sekarang diperintah oleh orang-orang dengan cara yang berbeda dari apa yang ada dalam benak orang-orang yang tidak mengerti hakikat persoalan. Lebih jelasnya, penguasa itu bukanlah raja atau perdana menteri. Lalu siapa gerangan para penguasa itu? Ini merupakan misteri yang harus diungkap, sehingga kita bisa menguasai mereka dan menciptakan perdamaian".

Otto Von Bismarck, kanselir tangan besi dari Jerman menggambarkan adanya sebuah kekuatan yang tidak kelihatan, yang keberadaannya bisa dirasakan, dinamakan Imponderabilia, yang artinya 'tidak bisa dibayangkan'.

Giuseppe Mazzini, seorang pejuang nasional Republik Italia (1805-1872) berkata kepada Dr. Prindostein, "Kami ingin bisa menghadapi setiap bahaya, tapi di sana terdapat bahaya terselubung yang mengintai kita. Dari mana bahaya itu datang, dan di mana bersembunyinya, tidak seorangpun mengetahui. Sebab, bahaya itu adalah perkumpulan rahasia yang tersusun rapi. Bahkan orang yang telah lama terjun ke dalam organisasi itu juga tidak bisa mengetahuinya". Dengan kata lain, orang Kristen yang mau diperintah oleh penguasa yang mengabdi untuk kepentingan Yahudi adalah penganut Yesus yang bodoh dan jahat.

George Dallon berkata, "Para anggota Free Masonry biasa (Symbolic Masonry) tidak menyadari, bahwa di belakang mereka ada persekutuan rahasia. Saya memberikan pengarahan khusus kepada para anggota Free Masonry itu dalam rangka merusak dunia, tentang siapa yang memimpin persekutuan itu, dan siapa pula anggotanya. Mereka adalah 'Tangan Tersembunyi'."

D'Esraeli memberikan komentar tentang Revolusi 1848 dengan mengatakan, "Revolusi gemilang yang sekarang sedang menyusun langkah, dan tidak diketahui orang itu terus berkembang di bawah bimbingan orang-orang Yahudi yang menduduki kursi profesor di berbagai Universitas di Jerman.

Apakah Eropa jatuh di tangan Yahudi? Dalam bukunya Fajar Menyingsing Nietzsche mengatakan, "Nasib bangsa Yahudi akan menjadi salah satu perhatian ummat manusia pada abad ke-20 mendatang. Namun tidak ada gunanya orang menutup kandang, ketika kuda telah dicuri orang. Orang Yahudi sudah terlanjur menyeberangi sungai Rubicon, baik bermaksud untuk menguasai Eropa, atau untuk menghancurkannya. Mereka sekarang dalam keadaan serupa dengan apa yang mereka alami di Mesir berabadabad yang lampau. Eropa bisa jatuh ke tangan mereka seperti buah masak, atau bahkan akan dipetiknya ketika masih berupa bunga."

Pengamatan Nietzsche di atas dikuatkan oleh sebuah tulisan yang dimuat dalam The Guardian London, "Demikianlah yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi. Maka selamatkanlah Eropa dari peperangan yang membinasakan.

Merekalah yang menyulut peperangan itu. Mereka pula yang meletakkan tangan-tangan di atas sumber-sumber tambang emas dunia. Kemudian pecah perang dunia II. Sebelum itu, mereka mendalangi Revolusi Bolsevick di Rusia, disusul dengan peristiwa yang ditimbulkan oleh ulah tangan mereka dengan menguasai Hungaria, di bawah pimpinan Bella Kuhn yang berlangsung hanya 100 hari. Kemudian datang giliran negara Bavaria. Maka dunia baru tersentak dan menyadar nasib yang bakal menimpa ummat manusia.... Orang-orang Yahudi harus kehilangan Eropa, seperti telah mereka alami, ketika mereka kehilangan Mesir beberapa abad yang silam. Mereka memulai perjalanan menuju tanah Zion (Palestina) sekali lagi. Kali inilah mereka hijrah kesana, seperti ketika mereka hijrah dari Mesir."

Dalam bukunya Hakikat Protokol Zion, penulis asal Slavia, Gregory Bostonich membuat karikatur orang Yahudi sebagai seekor ular setan yang melingkari Eropa. Sedang pandangan matanya mengincar Konstantinopel (Istanbul). Namun ular setan itu tidak berhasil, karena Turki diperintahkan oleh Bani Utsmani. Baru pada saat pemerintahan Mustafa Kemal Attaturk, seorang Yahudi berdarah Mongol yang memerintah dengan tangan besi, dan ular setan tersebut berhasil menguasai Istanbul, kemudian Palestina.

Amerika juga terancam bahaya besar, karena jenis bangsa Yahudi yang paling jahat telah datang membanjiri Amerika Serikat siang dan malam terus-menerus. Banyak kantor Yahudi internasional yang sengaja memalsukan identitas dan dokumen perjalanan untuk orang-orang Yahudi itu. Mayoritas immigran Yahudi di New York menyamar sebagai bangsa Polandia (Polish), atau Rusia, atau Irlandia. Tangan tersembunyi itu membantu setiap Yahudi atau anteknya yang menentang ajaran Kristen di Amerika, seperti dukungan kepada kaum Rasionalisme, yang dicetuskan oleh Baruch Spinoza, seorang Yahudi tulen. Membeberkan hakikat rahasia Tangan Terselubung termasuk masalah yang riskan. Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau para tokoh agama, para penulis dan politisi bersikap pura-pura tidak mengetahui permasalahan, yang pada hakikat-nya berarti telah ikut memperkokoh 'Gila yang berkepanjangan' itu.

Adapun buku yang ada di hadapan para pembaca ini, dengan judul Yahudi Menggenggam Dunia adalah sebuah ungkapan yang tepat, yang telah dipilih oleh penulisnya. Ungkapan tersebut bisa dimengerti dengan mudah oleh sebagian orang, tapi oleh sebagian yang lain tidak, disebabkan oleh beberapa hal. Oleh karena itu, dunia terbagi menjadi dua dalam menghadapi kekuatan Yahudi itu, yaitu:

1. Golongan yang terjebak dan dicengkeram keras oleh kuku iblis Yahudi, dan oleh cekikan pemerintah 'Pemilik Modal Internasional'. Pola pikir, moral dan ideologi yang mereka anut bisa dikendalikan oleh kekuatan tersebut menuju perjalanan yang sengaja telah dipasang oleh Zionisme Internasional, baik disadari atau tidak.

2. Golongan yang memahami adanya kenyataan tangan-tangan di balik layar itu, baik karena mereka punya tingkat kepedulian tinggi terhadap gejala, atau karena mereka berpikiran dan berwawasan luas serta berpikir jernih. Atau karena mereka belajar dari pengalaman pahit dan malapetaka yang pernah mereka alami, akibat tangan kotor Yahudi itu. Dalam golongan ini termasuk kaum Muslimin, karena mereka merupakan sasaran bagi persekongkolan Zionisme Internasional yang mewakili kekuatan jahat dan dendam kesumat terhadap kemanusiaan.

Adolf Hitler pemimpin Nazi Jerman pada umumnya dikenal sebagai setan berkulit manusia yang bertekad menghabisi setiap sesuatu yang berbau Yahudi Jerman. Bahkan kalau mungkin Hitler ingin membinasakan semua orang Yahudi untuk menyelamatkan manusia dari kejahatan mereka. Namun banyak orang tidak menyadari, bahwa Zionisme Internasionallah yang telah melapangkan jalan naiknya Hitler ke atas singgasana Jerman. Dan Zionisme Internasional pula yang telah menciptakan suasana kemarahan bangsa Jerman terhadap orang Yahudi. Para tokoh Zionis menganggap perlu untuk menumbalkan ratusan ribu, bahkan jutaan orang Yahudi itu sebagai salah satu cara untuk mewujudkan cita-cita jangka panjang mereka, yaitu menuntut darah bangsa mereka yang ditumpahkan oleh kejayaan Hitler dan Nazinya. Harga darah Yahudi tersebut sampai sekarang masih terus mengalir terus berupa uang ganti rugi, yang harus dibayar oleh Pemerintah Jerman dalam jumlah milyaran dollar kepada Zionisme Internasional, sebagai tebusan apa yang disebutnya dosa-dosa Hitler. Dan tebusan yang paling berharga bagi bangsa Yahudi adalah berdirinya sebuah negara Israel di jantung dunia Islam, yang telah sekian lama menjadi incaran kekuatan di balik tabir itu. Tidak banyak orang yang mengetahui dan menyadari hakikat fakta-fakta itu.

Sejarah kadang merupakan peristiwa terulang. Zionisme Internasional berdiri di belakang pecahnya perang dunia I dan II, untuk mendalangi pembagian dunia menjadi dua, yaitu blok Barat dan blok Timur yang nampak saling berebut pengaruh, sebagai langkah pembuka jalan bagi timbulnya perang dunia III. Ummat manusia akan terus berada dalam ancaman malapetaka besar, selama para tokoh Zionisme masih diberi kesempatan untuk bernafas dengan bebas, dalam upaya mereka untuk menguasai dunia.
Yang berminat ingin mendownload ebooknya bisa klik DI SINI
»»  Baca Selengkapnya...

Rabu, 18 November 2009

PERANG SALIB

Beberapa peristiwa mempunyai pengaruh yang lebih
menggetarkan dan tahan lama pada hubungan Muslim-Kristen
daripada Perang Salib. Dua mitos meliputi persepsi Barat
mengenai Perang Salib: pertama, kemenangan Kristen; kedua
bahwa Perang Salib itu dilakukan hanya untuk pembebasan
Yerusalem. Bagi banyak orang Barat, fakta-fakta khusus yang
menyangkut Perang Salib hanya diketahui secara samar-samar.

Sebenarnya banyak orang tidak mengetahui siapa yang memulai
peperangan itu, mengapa berperang, atau bagaimana peperangan
itu dimenangkan. Bagi kaum Muslim, kenangan mengenai Perang
Salib itu tetap hidup, yang merupakan contoh Kristen militan
paling jelas, pertanda awal agresi dan imperialisme Barat
Kristen, kenangan yang hidup akan permusuhan awal Kristen
terhadap Islam.

Jika banyak orang menganggap Islam sebagai
agama pedang, maka kaum Muslim selama berabad-abad telah
membicarakan ambisi dan mentalitas Tentara Salib Barat.
Karena itu, untuk hubungan Muslim-Kristen, hal itu bukan
merupakan masalah mengenai apa yang sebenarnya terjadi dalam
Perang Salib melainkan bagaimana hal-hal tersebut diingat.

Perang Salib (Crusades), yang namanya diambil dari "Cross"
(Crux dalam bahasa latin), merupakan delapan ekspedisi
militer yang terjadi sejak abad ke-11 hingga 13 yang membuat
orang-orang Kristen (tentara Kristen Franks) melawan Islam
(tentara Muslim Saracens). Abad ke-11 ditandai sebagai saat
yang menentukan dalam hubungan Barat dengan dunia Islam.

Hingga tahun 1000, Barat merupakan daerah miskin,
terbelakang, dan buta huruf. Mereka mempertahankan diri dari
serangan bangsa barbar yang terjadi di darat dan di laut...
Selama empat abad, Islam mengalami kedamaian dan keamanan
intern, sehingga mampu membangun kebudayaan urban yang,
cemerlang dan mengesankan. Kini situasinya benar-benar
berubah... Perdagangan hidup kembali (di Barat), kota dan
pasar bermunculan; penduduk bertambah... seni serta ilmu
pengetahuan mengalami kemajuan sedemikian rupa sejak masa
Kerajaan Roma.

Bangsa Barat yang bangkit dari zaman kegelapan, mengadakan
penyerangan untuk mengusir kaum Muslim dan Spanyol, Italia,
Sisilia, dan Mediterrania pada saat dunia Islam telah
mengalami kemajuan dalam perjuangan politik dan agama.

Ketika kekuatannya dikalahkan oleh tentara Abbasiyah di
akhir abad ke-15, Raja Byzantium, Alexius I, yang merasa
khawatir bahwa tentara Muslim akan memenangkan seluruh Asia
dan menduduki ibukota kerajaan, Konstantinopel, memohon
bantuan Barat. Ia mengimbau kepada sesama penguasa Kristen
dan Paus untuk mengusir kaum Muslim dengan "berziarah" untuk
membebaskan Yerusalem dan sekitarnya dari tangan pemerintah
Muslim.

Yerusalem adalah kota suci bagi ketiga agama
berdasarkan ajaran Nabi Ibrahim. Kota tersebut telah direbut
oleh tentara Islam tahun 638 pada masa bangsa Arab melakukan
ekspansi dan penaklukan. Di bawah pemerintahan orang-orang
Muslim, gereja dan penduduk yang beragama Kristen tidak
pernah diganggu. Tempat-tempat suci dan
peninggalan-peninggalan Kristen menjadi tempat yang selalu
dikunjungi oleh orang-orang Kristen. Orang-orang Yahudi yang
sejak lama dilarang tinggal di tempat itu oleh pemerintah
Kristen, kini diperbolehkan kembali tinggal dan beribadah di
kota Nabi Sulaiman dan Nabi Daud. Orang-orang Muslim
membangun sebuah tempat ibadah, Dome of the Rock (Kubah
Batu) dan Al-Aqsha di dekat The Wailing Wall (Tembok
Ratapan), sisa-sisa terakhir Istana Sulaiman, dan menjadi
tempat yang sangat khusus bagi Yudaisme. Lima abad hidup
berdampingan dengan damai kini porak-poranda karena
perang-perang suci yang membuat Kristen berperang melawan
Islam dan berakibat terciptanya perasaan tidak percaya serta
salah paham yang tak berkesudahan.
Peperangan Salib itu dimulai dengan tanggapan Paus Urban II
terhadap permohonan Raja Alexius. Pada tahun 1095, Urban
menyerukan pembebasan Tanah Suci dari tangan orang-orang
kafir, dan mengadakan perang suci yang sudah menjadi
tradisi. Bagi Paus, panggilan untuk membela agama dan
Yerusalem memberikan suatu kesempatan untuk memperoleh
pengakuan atas otoritas kepausannya dan peranannya untuk
mengabsahkan pemerintah sementara, dan untuk mempersatukan
kembali gereja-gereja Timur (Yunani) dan Barat (Latin).

Seruan peperangan Paus -"Itulah kehendak Tuhan!"- terbukti
berhasil. Pendekatan agama berhasil memikat pikiran orang
dan memanfaatkan kepentingan diri banyak orang, yang
menghasilkan persatuan dan kembalinya kekuatan Kristen. Para
pemerintah, pedagang, dan ksatria Kristen terdorong oleh
keuntungan-keuntungan ekonomi dan politik yang akan dipetik
dengan tegaknya kerajaan Latin di Timur Tengah.

Para ksatria dari Perancis dan bagian-bagian lain Eropa Barat, yang terdorong oleh fanatisme agama dan harapan akan pampasan
perang, bersatu melawan orangorang "kafir" dalam suatu
peperangan yang tujuannya adalah membebaskan kota suci:
"Mungkin Tuhan memang menghendakinya, tetapi yang pasti
tidak ada bukti bahwa orang-orang Kristen Yerusalem
mempunyai harapan itu, atau ada sesuatu yang luar biasa
dalam sejarah yang tertadi pada jamaat di sana sehingga pada
saat itu mereka memberikan tanggapan yang demikian. Perang
Salib diilhami oleh dua institusi Kristen, yaitu ziarah ke
tempat suci dan perang suci: pembebasan tempat-tempat suci
dari tangan kaum Muslim berkarakterkan keduanya.

Ziarah memainkan peran penting bagi kesalehan Kristen. Mendatangi
tempat-tempat suci, menghormati peninggalan keramat dan
melakukan penebusan dosa memberikan (orang-orang yang
mengecam akan mengatakan "membeli") janji pengampunan dosa.
Yerusalem, pusat lahirnya Kristen, merupakan lambang kota
Tuhan, yang karenanya merupakan tempat suci. Pada waktu yang
sama, gagasan perang suci mengubah dan menyucikan peperangan
di abad-abad pertengahan beserta gagasan kehormatan dan
keksatriaannya.

Para pejuang itu menang, baik mereka memenangkan peperangan di dunia maupun tidak. Memerangi musuh artinya terhormat dan mulia, ganjaran yang diterima oleh semua yang berperan dalam Perang Salib berupa jaminan diampuni dosanya dan masuk surga. Mati dalam peperangan adalah meninggal sebagai pahlawan agama dan langsung masuk surga walaupun mempunyai dosa-dosa di masa yang lalu.

Dalam keadaan terpecah-pecah, reaksi kaum Muslim yang
pertama tidak efektif; tentara Salib yang pertama mencapai
Yerusalem dan merebutnya pada tahun 1099. Namun keberhasilan
kaum Kristen tidak berlangsung lama: "Para pejuang Salib...
lebih merupakan gangguan daripada ancaman serius bagi dunia
Islam." Pada pertengahan abad ke-12, pasukan Islam
menanggapi secara efektif.

Di bawah kepemimpinan Saladin yang mumpuni (Shalah Al-Din, wafat 1193), salah seorang jenderal dan pemerintah Muslim paling terkenal, Yerusalem direbut kembali pada tahun 1187. Keadaan berubah dan momentumnya tetap berada di tangan pasukan kaum Muslim. Pada abad ke-13, Perang Salib telah berubah menjadi perang saudara Kristen, perang melawan musuh-musuh yang oleh Paus dikatakan sebagai sesat. Akhirnya, sesuatu yang ditakutkan
yang telah menimbulkan perang suci Kristen itu, dengan seruannya agar kaum Kristen bersatu untuk merebut kekuasaan
kaum Muslim, terjadi pada tahun 1453 ketika ibukota
Byzantium, Konstantinopel, jatuh dan diberi nama baru,
Istanbul, yang kemudian menjadi kedudukan Kerajaan
Utsmaniyah. Impian penguasa dan tentara Muslim yang muncul
sejak abad ketujuh menjadi kenyataan. Sebaliknya, ketakutan
kaum Kristen dan ancaman Islam yang kuat, ekspansif dan
terus-menerus makin meluas sampai ke Eropa Timur, yang
sebagian besarnya dikuasai Kerajaan Utsmaniyah.

Warisan Perang Salib ini tergantung pada tempat seseorang
berpijak dalam sejarah. Kaum Kristen dan Muslim bersaing
dalam visi dan kepentingan serta masing-masing senantiasa
ingat pada komitmennya terhadap agama, dan kisah-kisah
kepahlawanan melawan kaum "kafir." Bagi banyak orang di
Barat, dugaan mengenai kemenangan Kristen didasarkan pada
sejarah yang diromantiskan untuk merayakan kepahlawanan
pejuang Salib dan juga kecenderungan untuk
menginterpretasikan sejarah melalui pengalaman kolonialisme
Eropa dari kekuasaan Amerika selama dua abad yang baru lalu
ini. Masing-masing agama melihat satu sama lain sebagai
militan, agak barbaris dan fanatik, cenderung menjajah,
mengubah atau memusnahkan yang lainnya, dan itulah suatu
halangan dan ancaman bagi terealisasikannya kehendak Allah.
Pertentangan mereka berlanjut terus selama masa Utsmaniyah,
melalui arus kolonialisme Eropa, dan akhirnya ke dalam
persaingan negara-negara adidaya pada abad ke-20.
»»  Baca Selengkapnya...

Selasa, 17 November 2009

VALENTINE’S DAY DALAM PANDANGAN ISLAM

Dewasa ini masyarakat kita tengah menghadapi invasi kultural berskala global dan dampaknya amat dahsyat. Invasi tersebut dapat berupa invasi pemikiran di bidang ideologi, budaya, politik maupun sosial ekonomi. Mode, west lifestyle (gaya hidup barat), free sex, pornografi dan lain-lain yang semuanya adalah sejumlah “budaya import” yang amat masih dipaksakan di masyarakat muslim. Salah satu invasi kultural yang kini marak dimasyarakatkan adalah budaya memperingati Valentine’s day. Biasanya Valentine’s day dirayakan setiap tanggal 14 Februari. Tulisan ini mencoba memaparkan ikhwal sejarah Valentine’s day dan bagaimanakah seharusnya seorang muslim menyikapinya.

Ada suatu budaya baru yang kini nge-trend di masyarakat kita. Yaitu budaya memperingati hari Valentine yang dirayakan setiap tanggal 14 Februari. Valentine’s day sering disebut sebagai hari kasih sayang. Biasanya ditandai dengan pemberian kado bunga, coklat, gula-gula, snack dan lainnya diiringi dengan ucapan “Happy Valentine’s day.” Di sebagian kalangan remaja, budaya ini marak dilakukan baik kepada teman maupun pacar. Mereka memanfaatkan hari Valentine untuk mengungkapkan kasih sayang mereka dan pasangan mereka yang berakhir dengan perbuatan mesum yang sangat dilarang agama. Hotel-hotel dan klub-klub malam juga menyelenggarakan acara-acara yang bertema valentine’s day, dengan beragam paket hura-hura dan pesta pora. Tentu ini tidak lepas dari keuntungan bisnis yang bakal diraupnya, di samping memasyarakatkan budaya Valentine’s day.
Sayangnya, akhir-akhir ini Valentine’s day juga dirayakan oleh remaja Muslim, meski budaya tersebut sebenarnya asing dan tidak ada sandarannya dalam sejarah Islam.


Secara historis, perayaan Valentine’s day tak lepas dari sosok seorang pendeta Nashrani bernama Santo Valentine. Pendeta Santo Valentine adalah seorang pendeta Romawi yang hidup pada abad ketiga. Pada masa itu, Imperium Roma diperintah oleh seorang kaisar bernama Claudius II. Kaisar Romawi ini berpendapat bahwa pria yang masih lajang lebih pantas menjadi tentara negara dari pada menghabiskan masa mudanya dengan istri dan keluarganya. Selanjutnya ia mengeluarkan peraturan kerajaan tentang larangan menikah muda bagi warganya. Peraturan yang tak manusiawi ini mendapatkan tantangan keras dari berbagai elemen masyarakat. Salah satu yang amat gigih menentang maklumat ini adalah Pendeta Valentine. Ia sangat tidak setuju dengan peraturan itu karena peraturan tersebut tidak sesuai dengan fitrah manusia. Disisi lain, pendeta Valentine menikahkan pasangan muda-mudi secara diam-diam. Ia telah banyak menikahkan pasangan muda-mudi tanpa sepengetahuan kerajaan. Lambat laun, perbuatan ‘illegal’ Pendeta Valentine diketahui oleh Kaisar.
Akhirnya, Kaisar memerintahkan untuk menangkap Pendeta Valentine dan memberikan hukuman mati kepada Pendeta Valentine karena dianggap melanggar peraturan kerajaan. Selanjutnya Pendeta Valentine dipenjara sambil menunggu masa eksekusi hukuman mati.
Selama masa tahanan, Pendeta Valentine senantiasa bersikap gembira, riang dan ketika itu banyak remaja yang mengunjunginya. Para pemuda itu sangat mengagumi Pendeta Valentine. Mereka membawakan bunga untuk Pendeta Valentine sebagai tanda cinta mereka. Salah satu remaja putri yang sering mengunjunginya adalah putri sipir. Akhirnya mereka menjadi sahabat sejati dalam penjara. Mereka mengobrol berlama-lama dalam penjara dan mengeluarkan curahan hati mereka yang paling dalam. Pada gadis yang biasa mengunjunginya, dan sebagai ucapan terima kasih atas persahabatan dan kesetiaannya selama ini, maka Pendeta Valentine menandatangani surat tersebut dengan ungkapan “Love from Your Valentine” . Ia wafat pada tanggal 14 Februari tahun 269 Masehi. Hari kematian Pendeta Valentine inilah yang kemudian diperingati setiap tahun, untuk mengingatkan makna pentingnya cinta, kesetiaan dan persahabatan. Inilah ikhwal sejarah hari kasih sayang atau Valentine’s day.

Terkait dengan invasi kultural, baik berupa Valentine’s day, west lifestyle atau yang lainnya, setidaknya ada tiga sikap perilaku yang berlangsung di masyarakat Muslim.
Pertama, menerima segala apa yang berasal dari barat, baik atau buruk, karena ini merupakan simbol kemajuan masyarakat modern. Kedua, menolak segala apa yang berasal dari barat, baik atau buruk, karena ini merupakan simbol kekacau-balauan masyarakat Islam di zaman modern ini. Ketiga, menyeleksi segala apa yang berasal dari barat karena ini merupakan interaksi peradaban yang tak mungkin dielakkan dalam pergaulan masyarakat internasional di zaman modern ini. Peradaban yang baik dari barat yang sesuai dengan nilai-nilai universal Islam, seperti kemajuan Iptek, riset, pengembangan sains dan lain-lain, mereka kembangkan di masyarakat Islam sesuai dengan norma-norma, nilai dan etika yang diajarkan Islam. Adapun peradaban barat yang jelas-jelas bertentangan dengan nilai-nilai universal Islam, seperti free sex, pergaulan bebas, dansa-dansi laki-laki dan perempuan, minuman beralkohol, prostitusi, mode pakaian ketat dan lain-lain, mereka tinggalkan. Sebab inilah sumber penyakit sosial di masyarakat Muslim. Ketiga sikap ii mencerminkan perilaku peradaban yang beragam di masyarakat Muslim.
Sikap pertama mencerminkan perilaku Muslim yang kalah dalam peperangan peradaban ini, sehingga ia bersikap membeo terhadap segala yang dititahkan oleh desainer-desainer peradaban barat. Akibatnya umat Islam akan terkagum-kagum dengan peradaban barat dan pada akhirnya menganggap kuno budaya umat Islam dan meninggalkan warisan Islam yang agung ini.
Sikap kedua mencerminkan muslim yang tidak siap menghadapi segala perubahan budaya yang tak mungkin dielakkan. Akibtnya ia terisolasi di tengah pergaulan internasional dan ia tetap berada dalam kehidupan ‘tradisional’ di tengah kemodernan zaman.
Sikap ketiga mencerminkan muslim yang siap berinteraksi dengan masyarakat internasional tanpa kehilangan jati dirinya sebagai muslim. Inilah sikap muslim yang siap mengadakan ‘hiwar hadhari’ (dialog peradaban). Untuk pengembangan diri yang baik, ia siap berubah seiring dengan perubahan zaman, namun ia juga menolak tegas hal-hal yang memang dilarang dalam agama. Dengan kata lain ia siap membela nilai-nilai Islam di tengah-tengah peradaban global.
Terkait dengan Valentine’s day, kita harus menyadari betul bahwa sejarah Valentine tak lepas dari sejarah seorang Santo. Dalam kepercayaan Nashrani, Santo adalah seorang yang dianggap suci di kalangan agama Katholik. Jadi secara historis, ini sangat erat kaitannya dengan kegiatan keagamaan yang bukan dari Islam. Dalam hal ini, Al-Qur’an dan As-Sunnah telah memberikan rambu-rambunya. Allah berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu mentaati orang-orang yang kafir itu, niscaya mereka mengembalikan kamu ke belakang (kepada kekafiran), lalu jadilah kamu orang-orang yang rugi.” (QS.Ali Imran 3 : 149)

Dalam hal ini, orang-orang non Muslim berusaha menghubungkan hari-hari besar mereka dengan peristiwa-peristiwa yang telah terjadi dan menjadikannya sebagai harapan baru yang dapat memberikan keselamatan dan kesejahteraan. Rasulullaah SAW juga telah melarang umat Islam mengikuti perayaan hari besar yang dianut agama lain. Selain aspek historis yang mengharuskan umat Islam tidak boleh latah mengikuti budaya Valentine’s day, aspek lain yang tidak kalah penting adalah prosesi Valentine’s day yang berseberangan dengan nilai-nilai dan hukum-hukum Islam. Seperti ungkapan kasih sayang yang bukan kepada muhrimnya, dansa-dansi, pencampuran laki-laki dan perempuan tanpa norma-norma agama, aktivitas-aktivitas dalam Valentine’s day yang mengarah pada perbuatan mesum, misalnya berciuman, berpelukan dan lain-lain.
Dengan demikian jelaslah bahwa dalam sudut pandang Islam, Valentine’s day, selain tidak punya sandaran tradisi Islami, juga banyak acara Valentine’s day yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam. Dengan kata lain, dalam pandangan Islam, Valentine’s day adalah budaya non-Islam yang wajib dijauhi oleh remaja Islam.

Jadi Valentine’s day merupakan budaya non-Islam yang kini dikembangkan secara masif di masyarakat Islam. Karena itu umat Islam hendaknya mewaspadai budaya jahiliyyah ini. Sebab dengan meluasnya budaya Valentine’s day yang sebenarnya merupakan peradaban ‘import’ di masyarakat kita, dikhawatirkan akan dapat merusak moral generasi Islam hingga terjadi dekadensi moral di masyarakat Muslim. Untuk itu para orang tua Muslim dan seluruh elemen masyarakat hendaknya terus berusaha membendung budaya jahiliyah ini agar tidak menjalar di masyarakat Muslim. Sebagai Muslim yang baik kita sekali lagi harus mampu memilah dan memilih budaya-budaya asing yang secara tak terelakkan masuk di masyarakat kita. Valentine’s day merupakan budaya asing yang jelas-jelas bertentangan dengan nilai-nilai universal Islam dan dapat merusak moral dan akhlaq generasi Islam kini maupun yang akan datang.

»»  Baca Selengkapnya...

ISLAM KAFFAH

Seorang wanita berkerudung bergegas mendekati angkot yang sedang ngetem. Ketika naik dia mendahulukan kaki kanan seraya mengucapkan Bismillahir rahmanir rahim. Kemudian angkot pun berangkat. Setengah jam kemudian, wanita itu turun dengan menyerahkan uang Rp.300,00 kepada kenek dan bergegas pergi. Sang kenek berteriak meminta tambahan ongkos, tetapi wanita itu semakin mempercepat jalannya. Dengan kesal sang kenek mengumpat, “Naik angkot pakai kerudung dan membaca bismillah, tetapi mbayar hanya tiga ratus, mending tidak pakai kerudung dan tidak pakai bismillah, tetapi mbayar lima ratus!”

Karena itu, pengakuan keislaman seseorang tidak cukup hanya dalam bentuk syahadat lisan atau keyakinan dalam hati. Ia harus termanifestasikan pula dalam bentuk amal perbuatan sehari-hari dan dari waktu ke waktu. Setiap unit perbuatan yang dilakukan oleh seorang Muslim, hendaknya menampakkan identitas keislaman yang total dan integral seperti itu.

Karena itu, Islam mengajarkan tata cara bertindak dalam setiap unit perbuatan, dari masuk ke kamar kecil hingga bergaul dengan orang lain. Begitu seseorang hendak makan, maka dia diperintahkan untuk membaca basmalah dan berdo’a, lalu menggunakan tangan kanannya. Yang pertama menunjukkan unsure keimanan, sedangkan yang kedua merupakan unsure akhlak. Dengan begitu, terdapat keseimbangan antara hubungan dengan Allah dan hubungan dengan sesama manusia. Di situ tidak ada skala prioritas, dalam arti mana yang harus didahulukan: hubungan dengan Allah atau hubungan dengan manusia.

Namun di masyarakat kita kadang-kadang masih terdapat kesan bahwa hubungan dengan Tuhan jauh lebih penting ketimbang hubungan dengan manusia, dosa kepada Tuhan lebih besar hukumannya ketimbang dosa kepada manusia. Akibatnya orang sering memberi tekanan sangat tinggi terhadap kewajiban shalat tetapi mengabaikan kejujuran, menganggap dosa meninggalkan puasa Ramadhan lebih besar ketimbang korupsi. Kita pun masih sering mendengar bahwa kuliah atau rapat harus dihentikan ketika shalat Dhuhur tiba, tetapi begitu ujian tiba, banyak siswa maupun mahasiswa nyontek di sana-sini.

Manusia adalah makhluk yang mempunyai fungsi ganda. Dalam hubungannya dengan Allah dia adalah ‘abid, yakni hamba yang harus tunduk dan patuh kepada Tuhan, dan dalam hubungannya dengan sesama makhluknya dia adalah Khalifah Allah. Fungsi ‘abid harus dilaksanakan serentak dengan fungsi kekhalifahan, tanpa boleh ada yang harus didahulukan dan dibelakangkan.

»»  Baca Selengkapnya...

Jumat, 13 November 2009

Memaknai Syukur

Setiap kita memperoleh nikmat dari Allah SWT. Kita diwajibkan bersyukur kepada-Nya. Secara tepat syukur didefinisikan sebagai mempergunakan nikmat Allah di jalan yang dikehendaki-Nya.

Akan tetapi, manifestasi bersyukur dalam bentuk di atas sering kali bergeser menjadi bentuk lain, ketika nikmat dihubungkan dengan satu ayat dalam Surah Adh-Dhuha. Ayat tersebut berbunyi, Wa amma bi ni’mati Rabbika fahaddits yang berarti, “Dan terhadap nikmat Tuhanmu, hendaknya engkau menyebut-nyebutnya”.

Dengan pemberian arti seperti itu, ayat ini sering kali dipahami sebagai perintah untuk menyebut-nyebut dan membicarakan nikmat yang kita terima dari Allah kepada orang lain. Akibatnya, ketika seseorang meraih keuntungan dalam bisnis, memperoleh kenaikan pangkat, anaknya jadi insinyur, dan sejenisnya, dia lalu mengundang tetangga, kawan dan teman sejawat untuk “bersyukur” dengan acara makan-makan.

Padahal fahaddits (dengan dua dal pada ayat di atas) memiliki makna yang lebih mendalam dari sekadar “membicarakan”. Ia lebih tepat jika diartikan “membuat(-nya) berbicara”. Artinya, ketika seseorang menerima nikmat dari Allah, dia harus menjadikan nikmat tersebut berbicara.

Nikmat dan anugerah Allah kepada manusia, sungguh tak terbilang banyaknya. Seluruh anggota tubuh kita, dari ujung rambut hingga ujung jari kaki, sejak otak hingga hati, adalah nikmat Allah yang tak terhingga nilainya. Akan tetapi karena sejak lahir semuanya itu sudah kita “miliki”, maka kita cenderung untuk tidak menyebutnya sebagai nikmat dan anugerah. Yang kita sebut sebagai nikmat, biasanya, adalah pemberian-pemberian Allah yang incidental tadi: naik pangkat, dapat keuntungan dalam bisnis, lulus perguruan tinggi.

Terlepas dari itu semua, yang jelas seluruh nikmat tersebut harus kita buat “berbicara” kepada sesama manusia. Makanya nikmat tersebut harus betul-betul membawa manfaat bagi sesama, dan tidak sekadar bagi diri kita sendiri. Jika hari ini kita memiliki tangan, maka tangan kita mesti bermanfaat bagi umat manusia. Jika kita merasa bahwa Tuhan telah memberi anugerah otak kepada kita, maka otak kita harus memberi manfaat dan berbicara apa yang dikerjakannya bagi orang lain. Dan jika saat ini kita memperoleh rezeki cukup banyak dari Allah, maka rezeki itu pun harus dapat berbicara dalam bentuk amal-amal bagi kepentingan diri dan kepentingan sesame.

Sesudah itu, seluruh nikmat tersebut hendaknya dapat pula berbicara di hadapan Tuhan di akhirat kelak, dalam bentuk laporan yang padat dengan amal. Dengan begitu, maka bersyukur atas nikmat Allah berarti kehadiran. Yakni, kehadiran nikmat yang kita peroleh, baik di hadapan manusia maupun di hadapan Tuhan. Karenanya, jika usia kita merupakan anugerah dan nikmat Allah, maka usia itu pun mesti hadir di hadapan manusia dan di hadapan Allah dengan amal-amalannya.

Maka dari itu agar nikmat tersebut tidak mejadi sia-sia. Hendaknya tidak ada di antara kita yang hidup selama 50 tahun di dunia ini, tanpa ada satu pun dari waktu kita yang tidak berbicara kepada umat manusia dalam bentuk kebaikan-kebaikan. Dengan begitu, bersyukur juga punya dimensi kesejarahan dalam bentuk kehadiran kita di dunia ini.

»»  Baca Selengkapnya...
Related Posts with Thumbnails
 

© Free blogger template 3 columns